Esai

Memandang Usia 25 yang Sudah di Depan Mata

Jujur saja, saya masih agak speechless akan segera berusia 25 tahun. Well, ya, alhamdulillah akhir tahun 2022 ini usia saya akan genap 25. 25 tahun! Seperempat abad! Yang rupanya saya seusia dengan Malala, salah satu tokoh dunia yang saya kagumi itu. Ya, walaupun tentu saja, jika ditanya apa yang sudah didapat, kan, kalau Malala sudah dapat Nobel, saya tentu saja … masih belum dapat apa-apa. Hehe.

Memandang usia 25 tahun yang tak pernah diduga akan segera tiba, bagi saya adalah sebuah refleksi? Bisa juga sejenis pembelajaran dan mungkin, mungkin, nantinya ada hal-hal yang patut dibanggakan. Walaupun masih abu-abu sekali mengenai ‘hal-hal yang patut dibanggakan tersebut’. Entah harus menyebut apa, tapi, sampai saat ketika tulisan ini dibuat pun, saya masih merasa menjadi benalu.

Teman-teman tahu? Makhluk mengerikan yang hanya menompang hidup kepada makhluk lain. Ya, itu. Saya masih merasa seperti itu.

Benalu yang terkungkung dalam sebuah sangkar. Bukan sangkar emas. Namun, sangkar tanpa kunci. Yang sebenarnya, mungkin, bisa saya buka dengan leluasa. Hanya saja, si Benalu ini, yang saya bayangkan selayaknya tanaman merambat itu, masih takut untuk menjulurkan ranting. Masih banyak pertanyaan yang bergelantungan di benaknya, ini benar enggak, ya? Nanti di luar sangkar ini saya bisa mendapatkan makhluk lain untuk ‘diisap’ enggak, ya? Jika saya keluar, apakah sangkar ini akan semakin hidup ataukah justru usang tak terpakai?

Mungkin ada beberapa orang yang risih membaca tulisan ini. Menyebut diri sendiri layaknya ‘benalu’, mungkin ada yang setuju dan ada yang tidak. Saya juga demikian.

Ada satu sisi dalam diri saya yang tidak ingin menganggap diri ini tidak bergantung pada orang lain. Terutama dengan melewati, hampir, 25 tahun ini dengan berbagai hal yang saya anggap berat. Yang membuat saya diam-diam mengharapkan seseorang untuk berbagi. Yang membuat saya harus senantiasa menyiapkan tisu di malam hari, pertama untuk membungkam mulut saya agar isak tangis tak terdengar; kedua, untuk menghapus air mata yang mengalir; lalu, ketiga, tentu saja untuk menghapus ingus dari hidung. Menangis tanpa keluar ingus? Tidak mungkin! Fana!

Memikirkan itu membuat saya enggan untuk mengakui bahwa sepanjang hampir 25 tahun ini, saya juga bergantung pada orang lain. Orang tua, kakak, guru, teman, siapa pun itu. Namun, saya juga terkadang hanya ingin mengakui, ingin egois, bahwa banyak hal yang “harus” saya lalui sendiri. Sendirian. Banyak hal yang orang lain tidak tahu. Tapi, rasanya terlalu egois, sih.

Apapun itu. Bagaimana pun perjalanan saya ke depan, setelah di usia 25 tahun ini. Apakah sendiri ataukah memiliki seseorang di sisi saya, semoga diri ini tidak lagi menjadi benalu. Semoga saya tidak dengan serta merta menyebut diri ini sebagai benalu, karena setiap detik yang kepala saya terus memutar ingatan, bahwa, oh, saya hanya bertopang hidup pada makhluk lain.

Tanpa mereka, saya pasti tiada.

Saya tidak ingin terus merasa seperti itu.#